Selamat Datang...

Baca postingan/artikel yang ada dengan teliti, saya tunggu komentar Anda. Thanks...

Rabu, 08 September 2010

IDUL FITRI dan Kesadaran Sosial

          Setelah lulus menempuh ujian amaliah Ramadhan sebulan penuh, baik dengan amalan wajib maupun amalan nafilah (sunnah atau tambahan), maka layak dan patut kita mengucapkan: "Minal 'Aidin wal Fa-izin", semoga kita menjadi orang yang kembali dan meraih kemenangan.
Kembali yang dimaksud adalah kembali kepada fitrah (idul fitri). Dengan kembali kepada fitrah kemenangan hakikiyah pasti dapat kita raih. Amin.

Dalam hazanah Islam, kata "fithrah" mempunyai banyak arti. Paling tidak, selain punya makna "suci" seperti diisyaratkan dalam hadits "kullu mawludin yuladu 'ala 'l-fithrah", bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Fitrah juga punya arti "asal kejadian" dan agama yang benar, hal ini diisyaratkan dalam surat Al-Rum ayat 30. Karena itu apabila kita mengucapkan "idul fitri", berarti harapan kita dapat kembali kepada "kesucian", kembali mengingat "asal kejadian" dan kembali menjalankan "agama yang benar dan secara benar".


Khusus relevansinya dengan "asal kejadian", semestinya puasa Ramadhan dapat menimbulkan kesadaran atau keinsyafan (awareness) bahwa kita diciptakan sebagai makhluk sosial (social being) yang harus bertingkah laku paradok dengan makhluk individual. Ini berarti kesalehan "ubudiyah yang berdimensi vertikal (hablun min Allah) harus diaplikasikan dalam kesalehan sosial yang berdimensi horizontal (hablun min an-nas).
 

Sesungguhnya konsep "silaturahim" dalam Islam didasari atas prinsip keinsyafan sebagai makhluk sosial yang harus mengembangkan hubungan kasih sayang dengan sesamanya. Oleh karena itu, sesungguhnya silaturahim, jangan hanya diartikan sebatas kita berkunjung satu sama lain, atau saling mengirim kartu lebaran diantara kita di hari lebaran.
Tetapi lebih dari itu sebagai social being, kita harus mengembangkan interaksi sosial dalam skala yang lebih signifikan untuk saling faham, saling mengerti, saling tahu dan saling memaklumi dan pada akhirnya dikembangkan untuk saling bekerja sama (ta'awun) dalam kemaslahatan.


Bila kesadaran untuk ta'aruf sudah tenteram dan melekat dengan perilaku, kesadaran sikap toleransi pun (tasamuh) akan menghiasi kearifan hidup kita. Sebab adanya keragaman atau pluralisme dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam hal agama dan keyakinan akan dipandang sebagai keniscayaan takdir Tuhan.
Dan dari konsep ini pula. Allah SWT melarang umat beriman bermental dan berjiwa suka merendahkan orang lain (suhriyah), gemar mencela orang lain (lamz), memberi gelar buruk pada orang lain (su'udzon), mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus) dan membicarakan kejelekan orang lain (ghibah) seperti dijelaskan dalam surat al-Hujarat:11-12.


Prihal moral kemulyaan dan ketaqwaan seseorang adalah hal prerogatif Tuhan bukan kita yang punya penilaian. Wallahu'alam.

Akhirnya kami mengucapkan: 

2 komentar: